Thursday, August 5, 2010

Diantara dalil-dalil orang yang membantah serta jawabannya:

Sumber tulisan A. Shihabuddin
Kami kira para pembaca cukup jelas dengan membaca firman Allah dan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan Tawassul tadi serta keterangan-keterangan para ahli Fiqih yang mana tawassul itu, baik untuk orang yang masih hidup atau sudah wafat, dibolehkan/tidak dilarang oleh agama dan tidak dikhususkan tawassul pada Rasulallah saw. saja boleh tawassul pada waliyullah, orang-orang sholihin lainnya.

Lebih mudahnya marilah kita baca sanggahan Imam Syaukani terhadap orang yang melarang Tawassul dengan makhluk atau sesama manusia dalam berdo’a memohon sesuatu kepada Allah swt., berikut ini:

Imam Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadhiid Fi Ikhlashi Kalimatit Tauhid mengatakan:

“Syeikh ‘Izuddin Ibnu ‘Abdussalam telah menegaskan: ‘Tawassul yang diperbolehkan dalam berdo’a kepada Allah hanyalah tawassul dengan Nabi Muhammad saw., itupun kalau hadits yang mengenai itu shohih’.

Asy-Syaukani selanjutnya berkata, mungkin hadits yang dimaksud oleh Syeikh ‘Izuddin ialah hadits mengenai soal tawassul yang dikemukakan oleh An-Nasai dalam Sunan-nya, At-Tirmudzi dan dipandang shohih olehnya oleh Ibnu Majah dan lain-lain, yaitu ‘sebuah hadits yang meriwayatkan adanya seorang buta datang menghadap Nabi Muhammad saw…’. (baca hadits ‘Utsman bin Hunaif yang telah kami kemukakan---pen). Mengenai soal itu ada dua pendapat:

Pendapat pertama: Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Umar bin Khattab ra. (dalam shohih Al-Bukhori dll.), yaitu setelah Rasulallah saw. wafat, tiap musim gersang atau paceklik ia bersama kaum Muslimin berdo’a kepada Allah swt. mohon diturunkan hujan (istisqa) dengan bertawassul pada paman Nabi saw., yaitu ‘Abbas bin Abdul Mutthalib.

Pendapat kedua : Bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperkenan- kan baik dikala beliau saw. masih hidup maupun setelah wafat, dihadapan beliau mau pun tidak sepengetahuan beliau saw. Mengenai tawassul dengan Rasulallah saw. dikala hidupnya, tidak ada perbedaan pendapat. Adapun mengenai tawassul dengan pribadi orang selain beliau saw. setelah beliau wafat, hal ini disepakati bulat oleh para sahabat Nabi secara diam-diam.

Tidak seorang pun dari para sahabat Nabi yang mengingkari atau tidak membenarkan prakarsa Khalifah Umar ra. untuk bertawassul dengan paman Nabi saw. yaitu ‘Abbas ra.. Saya (Imam Syaukani) berpendapat: ‘bahwa tawassul diperkenankan tidak hanya khusus pada pribadi Rasulallah saw. sebagai- mana yang dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin. Mengenai soal itu ada dua alasan (dalil/hujjah).

Pertama: Telah disepakati bulat oleh para sahabat Nabi saw, yaitu sebagai- mana dikatakan dalam hadits ‘Umar bin Khattab ra’.

Kedua: Tawassul pada para ‘ahlul-fadhl’ (pribadi-pribadi utama dan mulia) dan para ahli ilmu (para ulama), pada hakekatnya adalah tawassul pada amal kebajikan mereka. Sebab, tidak mungkin dapat menjadi ‘ahlul-fadhl’ dan ‘ulama’, kalau mereka itu tidak cukup tinggi amal kebajikannya. Jadi kalau orang berdo’a kepada Allah swt. dengan mengucap: ‘Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bertawassul kepada orang alim yang bernama Fulan…., itu telah menunjukkan pengakuannya tentang kedalaman ilmu yang ada pada orang ‘alim yang dijadikan washilah. Hal ini dapat dipastikan kebenarannya berdasarkan sebuah hadits dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim tentang hikayat tiga orang dalam goa yang terhambat keluar karena longsornya batu besar hingga menutup rapat mulut goa. Mereka kemudian berdo’a dan masing-masing bertawassul dengan amal kebajikannya sendiri-sendiri. Pada akhirnya Allah mengabulkan do’a mereka dan terangkatlah batu besar yang menyumbat mulut goa.

Lebih jauh Asy-Syaukani mengatakan: ‘Kalau bertawassul dengan amal ke bajikan tidak diperkenankan atau merupakan perbuatan syirik, sebagai- mana dikatakan oleh Syeikh ‘Izuddin dan para pengikutnya; Tentu Rasulallah saw. tidak akan menceriterakan hikayat tersebut diatas, dan Allah tidak akan mengabulkan do’a mereka bertiga’.

Nash-nash Al-Qur’an yang dijadikan hujjah/dalil untuk tidak membenarkan tawassul dengan para ahli takwa dan orang-orang sholeh seperti firman-firman Allah swt.:

“Kami tidak menyembah mereka (berhala-berhala) kecuali untuk men- dekatkan diri kami sedekatnya dengan Allah”.(Az-Zumar : 3)

َلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدًا

“...Maka janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang”. (Al-Jin:18)

لَهُ دَعْوَةُ اْلحَقُّ وَالّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لآيَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْءٍ

“Hanya Allah lah (yang berhak mengabulkan) do’a yang benar. Apa-apa juga yang mereka seru selain Allah tidak akan dapat mengabulkan apapun juga bagi mereka.” (Ar-Ra’ad : 14)

Ayat-ayat diatas dan ayat-ayat lainnya tidak pada tempatnya dijadikan hujjah bagi persoalan itu. Bahkan ayat-ayat tersebut oleh mereka hanya dijadikan dalil untuk memperuncing perselisihan pandanga. Sebab, ayat-ayat suci tersebut pada hakekatnya adalah larangan menyekutukan Allah swt. Sedangkan soal tawassul sama sekali buka soal menyembah sesuatu selain Allah. Ayat-ayat tersebut ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a hanya kepada Allah swt. tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah !

Juga golongan pengingkar ini berhujjah/berdalil pada firman Allah swt. :

وَمَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْنِ ثُمَّ مَا اَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّ يْن يَوْم لآ تَمْلِكُ َنفْسُْ لِنَفْسٍ شَيئًا وَالأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ

“Tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah engkau, apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari pada saat seseorang tidak berdaya sedikitpun menolong orang lain; dan segala urusan pada hari itu berada di dalam kekuasaan Allah” (Al-Infithar:17-19)

Ayat suci tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengingkari kebenaran tawassul, karena orang yang bertawassul dengan Nabi, ulama yang sholeh dan ahli taqwa, sama sekali tidak mempunyai pikiran atau keyakinan bahwa Nabi, ulama yang sholeh, ahli taqwa atau waliyullah yang mereka jadikan washilah, itu akan menjadi sekutu Allah atau menyaingi kekuasaan-Nya pada hari pembalasan ! Setiap muslim tahu benar bahwa keyakinan seperti itu adalah sesat.

Pihak-pihak yang melarang tawassul pada Nabi Muhammad saw. juga meng gunakan firman-firman Allah dibawah ini sebagai dalil:


لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِشَئُْ

“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu (hai Muhammad) dalam urusan mereka (kaum musyrikin)”. (Ali Imran : 128)

Dan firman-Nya lagi : قُلْ لآ اََمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلآ ضَرًّا

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan ke manfaatan bagi diriku, dan tidak pula berkuasa menolak kemadharatan”. (Al-A’raf : 188)

Itu pun tidak pula pada tempatnya, karena Allah swt. telah mengaruniakan kedudukan (maqam) terpuji dan tertinggi kepada Rasulallah saw. yaitu kewenangan memberi syafa’at seizin Allah. Demikian pula pernyataan beliau saw. kepada kaum kerabatnya, beberapa saat setelah beliau menerima wahyu Ilahi, ‘dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu yang terdekat’ (Asy-Syu’ara : 214), yaitu: ‘Hai Fulan bin Fulan dan hai Fulanah binti Fulan, di hadapan Allah aku (Muhammad saw.) tidak dapat memberi pertolongan apa pun kepada kalian…!

Pernyataan Rasulallah saw. itu tidak berarti lain kecuali bahwa beliau tidak berdaya menangkal madharat/malapetaka yang telah dikenakan Allah kepada seseorang dan beliau saw. pun tidak berdaya menolak manfaat yang telah diberikan Allah swt. kepada seseorang, sekalipun orang itu kerabat beliau sendiri.

Pengertian itu tidak ada kaitannya dengan tawassul. Karena orang yang bertawassul tetap memanjatkan do’anya kepada Allah swt. Bertawassul kepada Rasulallah saw. dalam berdo’a tidak berarti lain kecuali mengharapkan syafa’at beliau agar Allah swt. berkenan mengabulkan do’a dan permohonan yang diminta. Adapun soal terkabulnya suatu do’a atau tidak, sepenuhnya berada didalam kekuasaan Allah swt.”. Demikianlah garis besar pandangan Imam Asy-Syaukani mengenai soal tawassul.

Ayat Az-Zumar : 3 diatas yang oleh golongan pengingkar dijadikan dalil untuk melarang tabarruk (pengambilan barokah) itu tidak tepat sekali, karena dalam ayat tersebut jelas tidak menyebutkan; Kami tidak mengambil barokah mereka melainkan...., tapi diayat ini menyebutkan; Kami tidak menyembah mereka melainkan.....
Kaum musyrikin Jahiliyah meyakini ’sifat ketuhanan’ buat obyek (patung-patung) yang dimintainya berkah, selain Allah. Mereka telah menyembah patung itu dan menyekutukan Allah dalam masalah penyembahan. Dan tentu essensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya. Tanpa keyakinan (sifat ketuhanan) itu, mustahil mereka menyebut kata ‘sembah’. Jelas, sebagaimana yang sudah pernah kita singgung pada tulisan terdahulu bahwa, sekedar sujud di depan sesuatu tidak serta merta masuk kategori menyembah.

Kaum musyrikin meyakini bahwa patung-patung itu juga memiliki kekuatan secara bebas, dari Allah swt. sehingga muncul di benak mereka untuk meyakini bahwa berhala itu juga mampu menjauhkan segala mara bahaya dari mereka dan memberikan manfaat kepada mereka. Sedangkan soal tawassul atau tabarruk sama sekali bukan soal ‘menyembah sesuatu selain Allah’. Ayat-ayat diatas itu ditujukan kepada mereka yang tidak berdo’a kepada Allah swt., sedangkan orang yang bertawassul berdo’a pada Allah swt. dan tidak berdo’a kepada sesuatu yang mereka sekutukan dengan Allah.
Ayat-ayat diatas juga menunjukkan sikap dan pikiran kaum musyrikin yang sama Allah swt. dan Rasul-Nya tidak dibenarkan. Orang musyrikin meyakini dan memandang berhala serta sesembahan lainnya yang mereka puja-puja sebagai Tuhan secara hakiki/sebenarnya, bukan hanya sebagai sekedar wasithah sebagaimana menurut ucapan mereka untuk mendekatkan hubungan mereka dengan Allah.

Kalau kaum musyrikin benar-benar memandang berhala atau sesembahan lainnya hanya sebagai wasithah, maka mereka tidak akan menyembahnya serta memberi sajian-sajian dan sebagainya. Juga kalau kaum musyrikin tidak memandang berhala sebagai Tuhannya, mereka tentu dalam perang Uhud Abu Sufyan bin Harb tidak akan berteriak minta pertolongan pada berhalanya yang bernama Hubal: U’lu Hubal artinya Jayalah Hubal. Abu Sufyan dan pasukan musyrikin yang dipimpinnya percaya dan meyakini bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah swt. dan Rasul-Nya serta pasukan muslimin. Disini jelaslah kepercayaan atau keimanan kaum musyrikin bahwa berhala Hubal bukan sebagai wasithah tapi sebagai Tuhan mereka, dengan sendirinya keimananan kaum musyrikin jauh berbeda dengan keimanan kaum muslimin yang bertawassul tersebut.

Bila golongan pengingkar tawassul ini konsekwen dan adil dengan berdalil surat Al-Jin:18 ini mereka harus melarang semua orang yang berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama seseorang baik itu Rasulallah saw., para sahabat atau para sholihin yang masih hidup maupun telah wafat. Karena kalimat ayat itu ‘....janganlah kalian berdo’a kepada Allah (dengan) menyertakan seseorang’ tanpa menyebutkan orang yang telah wafat atau yang masih hidup. Tetapi sayangnya mereka ini selalu mencari-cari dalil untuk melarang tawassul dan mengartikan ayat Ilahi dan Sunnah Rasul saw. seenaknya sendiri, sehingga sering berlawanan dengan pahamnya sendiri. Jadi tidak lain ayat ini ditujukan kepada orang musyrikin yang menyekutukan Allah swt. dengan sesembahan yang lain, sedangkan orang yang bertawassul berdo’a dan menyembah kepada Allah swt. dan tidak menyekutu- kannya.

Selain telah kami singgung baik dalam kajian sebelum ini maupun kajian sesudah ini bahwa, beberapa Nabiyyullah yang mengajak ummat manusia kepada ajaran tauhid ternyata juga melakukan pengambilan berkah dan tawassul. Nabi kita Muhammad saw. sebagai penghulu para nabi dan Rasul bahkan paling mulia dan taqwa dari semua makhluk Allah swt.. pun telah membiarkan orang-orang mengambil berkah darinya dan tawassul padanya. Jika mencari berkah (baca mengenai tabarruk pada halaman berikut) dan tawassul adalah haram, syirik atau perbuatan ghuluw maka tentunya para nabi disetiap zaman adalah orang yang pertama yang menjauhinya, bahkan melarang orang lain untuk bertabarruk atau ber tawassul. Namun, mengapa justru mereka malah melakukannya? Begitu juga para sahabat Rasulallah saw. dan para ulama pakar telah mengamal- kan semuanya ini.

Apa yang di-isukan oleh golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya selain tidak sesuai dengan makna yang dimaksud Al-Qur’an, hadits, bukti sejarah/ riwayat dari para Salaf, para imam madzhab, juga jauh dari logika pemaham- an ayat-ayat diatas itu sendiri.

Golongan pengingkar juga berdalil pada hadits shohih berikut ini yang di riwayatkan oleh At-Tirmudzi bahwa Rasulallah saw. bersabda pada sahabatnya sebagai berikut:


إذَا سَألْتَ فَاسْألِ اللهَ, وَإذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بَاللهِ وَاعْلَمْ أنَّ الاُمَّةَ لَوِ اجْتَمَـعَتْ عَلَى اَنْ يَنْفََعُوْنَكَََ بِشَيْئٍ لَمْ يَنْفَـَعُوكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبهُ اللهُ لَكَ
, وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْئٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَليْـَكَ


“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimupun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.

Juga didalam Majma’ul Kabir Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadits bahwa pada zamannya Rasulallah saw. ada seseorang munafik yang selalu mengganggu kehidupan kaum muslimin. Ketika itu Abu Bakar r.a. berkata pada teman-temannya: ‘Mari kita minta pertolongan pada Rasulallah dari gangguan si munafik itu !’. Kepada mereka beliau saw. menjawab : ‘Itu tidak dapat dimintakan pertolongan kepadaku, tetapi hanya dapat dimintakan pertolongan kepada Allah”.

Masih banyak orang yang memahami hadits-hadits diatas itu secara keliru, yang mana mereka berpedoman semua permintaan dan semua pertolongan yang diminta dari selain Allah adalah syirik (keluar dari agama). Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuh nya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan menolong anda yaitu Allah swt. Dan yang mengatur semua hubungan dalam kehidupan ini adalah Allah swt..

Hadits-hadits diatas tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/ keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah tauhid, bahwa kita harus yakin penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara, tidak lebih dari itu !

Begitu juga kalau semua pertolongan yang diminta dari selain Allah swt. tersebut munkar, syirik maka Allah swt. akan mencela dan tidak mengabul- kan permohonan Nabi Sulaiman as pada ummatnya untuk mendatangkan singgasana Ratu Balqis (S.An-Naml : 38-40), karena beliau as. tidak langsung minta pada Allah swt.. Sulaiman as. seorang nabi dan Rasulallah yang do’anya mustajab dan bisa minta langsung pada Allah swt. tapi toh masih minta tolong pada ummatnya dalam hal yang luar biasa tersebut, apalagi kita-kita ini yang tidak memilik kedudukan nabi dan Rasul! Penolong Sulaiman as. ini juga merupakan washitah/ perantara bagi beliau.

Begitu juga riwayat nabi Yusuf a.s.dalam surat Yusuf : 93 perantara ghamisnya ayahnya yang tuna netra disamping bisa mengenali ghamis/baju Yusuf a.s., juga beliau setelah mengusapkan ghamis kemukanya atas perintah Yusuf as bisa melihat kembali. Padahal kalau kita baca dalam ayat itu bahwa Yusuf as. berkata pada saudaranya ‘dengan usapan bajunya tersebut ayahnya bisa melihat’ tanpa mengiringi dengan kata-kata seizin Allah. Ini tidak lain karena beliau as. sudah meyakini dan mengetahui walau pun tanpa menyebutnya, semua itu tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah swt.. Dengan demikian keyakinan seseorang itu sangat penting dalam syari’at Islam.

Mengapa nabi Yusuf a.s. tidak langsung berdo’a pada Allah swt. agar ayahnya bisa melihat kembali tanpa harus mengusap mukanya dengan Ghamis tersebut ? Jadi ghamish itu juga bisa dikatakan sebagai wasithah/ perantara atau bisa dikatakan pengambilan barokah (tabarruk).

Bila tawassul atau minta tolong pada makhluk tidak langsung pada Allah swt. itu dilarang/diharamkan oleh agama, maka Rasulallah saw. tidak akan men- ceriterakan mengenai Nabi Adam as. yang waktu berdo’a bertawassul dengan beliau saw. dan riwayat-riwayat tawassul yang telah kami kemuka- kan pada halaman sebelumnya.

Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui Jibril as. padahal Allah swt.bila Dia kehendaki bisa menurunkan wahyu tersebut langsung pada Rasulallah saw. mengapa harus melalui Jibril a.s.? Dan masih banyak lagi contoh dari tawassul/ washithah ini, semuanya ini dibolehkan oleh agama selama orang yang bertawassul tersebut tetap meyakini dan mengetahui bahwa sebab utama terkabulnya do’a dan amal lain-lainnya adalah Allah swt. sedangkan orang yang ditawassuli itu hanya sebagai perantara saja agar lebih cepat do’anya/hajatnya terkabul . Sekali lagi sudah tentu orang yang ditawassuli itu orang ahli taqwa yang cinta dan dicintai oleh Allah swt.

Penghormatan, pemuliaan, tawassul dan tabarruk terhadap para waliyullah serta orang-orang shalih lainnya itu juga mustahab/baik dan mereka tersebut pantas juga dipuji dan dimuliakan. Mereka selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berdzikir siang malam baik berdzikir secara perorangan maupun bersama majlis dzikir. Berapa banyak firman ilahi dan hadits Rasulallah saw. yang menyebutkan kemuliaan dan keistemewaan dan pahala orang-orang yang sering berdzikir (silahkan rujuk pada bab Faedah dzikir dibuku ini).

Dalam surat Yunus : 62-63 Allah swt. berfirman :

اَلآ اِنَّ اَوْلِيَاءَ الله لآ خَوْفُْ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكاَنُوْا يَتَّقُونَ

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang orang beriman dan senantiasa bertakwa”.

Hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami didalam Masnadul-Firdaus berasal dari Mu’adz bin Jabal ra.yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. bersabda :

ذِكْرُ الأنْبِيَاءِ مِنَ العِبَادَةِ , وَذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ كَفَّارَةٌ وَذِكْرُ المَوْتِ صَدَقَةٌ وَذِكْرُ القَبْرِ يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الجَنَّةِ.

“Ingat kepada para Nabi adalah bagian dari ‘ibadah, ingat kepada kaum sholihin adalah kaffarah (menebus dosa), ingat mati adalah shadaqah dan ingat kuburan mendekatkan kalian kepada surga”.

Ibnu Babuwaih didalam kitab Al-Mujalasah dan Ibnu ‘Uqdah didalam Masnad-nya meriwayatkan sebuat hadits dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda:

ذِكْرُ عَلِيِّ (بْنِ أبِي طَالِبْ) عِبَادَة

“Ingat kepada ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah ibadah”.

Dengan adanya firman Allah dan hadits Rasulallah saw. itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa para sahabat Nabi saw. dan orang-orang ahli taqwa lainnya juga dicintai dan dipuji-puji oleh Allah swt. dan Rasul-Nya karena mereka banyak berdzikir pada Allah swt. Mengingat mereka saja sudah termasuk ‘ibadah apalagi sering mendekati mereka itu adalah amalan yang baik. Sebagaimana firman Allah swt.:
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينِ

“Dan bergabunglah kamu sekalian dengan orang-orang yang tulus (Rasulallah, para sholihin). (At-Taubah : 119)

Perjalanan dan gerak-gerik mereka (para nabi, wali/sholihin) selalu dalam bimbingan Allah swt. dan segala permintaan mereka akan cepat dikabulkan oleh Allah swt. Dengan demikian panteslah kalau kita-kita ini minta dido’akan oleh mereka yang selalu makbul, tawassul dengan para ahli taqwa ini, tabarruk (pengambilan barokah) dari tempat dan benda-benda yang pernah mereka gunakan untuk beribadah pada Allah swt dan sebagainya.

Jelaslah bagi golongan yang mau berpikir, sekalipun Rasulallah saw. telah wafat namun ketinggian martabatnya, kemuliaan kedudukannya dan segala keutamaannya masih tetap disisi Allah swt. Dan pujian-pujian, tawassul serta salam pada beliau saw. selalu sampai kepadanya. Tidak lain semua itu dalam usaha mendekatkan diri pada Allah swt. pada hakekatnya berdasar- kan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Allah dan Sunnah Nabi saw.

 Hadits yang dikemukakan oleh Al-Hafidz Ismail Al-Qadhi dalam kitabnya tentang shalawat kepada Nabi Muhammad saw. dan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dan menilainya sebagai hadits shohih sebagai berikut:

.... حَياَتيِ خَيْرُْ لَّكُمْ فَاِذَا أَنَامِتُّ كَانَتْ وَفَاتِى خَيْرًا لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَىَّ أَعْمَالَكُم
فَاِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ الله وَأِنْ رَأَيْتُ شَرًّا اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ

“Hidupku didunia ini baik untuk kalian. Bila aku telah wafat, maka wafatku pun baik bagi kalian. Amal perbuatan kalian akan diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat sesuatu baik, kupanjatkan puji syukur kehadirat Allah, dan jika aku melihat sesuatu yang buruk aku mohon kan ampunan kepada-Nya bagi kalian”. Hadits ini telah kami kemukakan dan jelaskan dalam bab Ziarah Kubur... diwebsite ini.

 Juga sabda beliau saw. yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra :

مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ.

“Setiap salam yang disampaikan kepadaku oleh seseorang, Allah akan menyampaikan kepada ruhku agar aku menjawab salam itu”.(HR.Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Dawud). Imam Nawawi mengatakan hadits ini isnadnya shohih.

 ‘Ammar bin Yasir ra meriwayatkan, bahwasanya Rasulallah saw bersabda:

قاَلَ رَسُولُ اللهِ.صَ. اِنَّ اللهَ وَكَّلَ بِقَبْرِى َملَكاً أَعْطاَهُ اللهُ أَسْماَء الْخَلآِئقِ،
فَلآ يُصَلِّى عَلَىَّ اَحَدٌ أِلىَ يَوْمِ الْقِياَمَةِ أِلآّ أَبْلَغَنِى بِاِسْمِهِ وَاسْمِ أَبِيْهِ،
هَذَا فُلآنُ اِبْنُ فُلآنٍ قَدْ صَلَّى عَلَيْكَ

“Allah mewakilkan Malaikat didalam kuburku. Kepadanya Allah memberikan nama-nama seluruh umat manusia. Karena itu hingga hari kiamat kelak setiap orang yang mengucapkan shalawat kepadaku pasti akan disampaikan oleh Malaikat itu nama dan nama ayahnya: si Fulan bin si Fulan telah mengucapkan shalawat kepada anda”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazar. Dalam riwayat Abu Syaikh Ibnu Hibban disampaikan dalam kalimat agak berbeda tetapi sama maknanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Thabarani dan lain-lain.)

Dari semua hadits tersebut jelas buat kita bahwa Rasulallah saw. dialam barzakh senantiasa menjawab setiap salam yang disampaikan oleh ummatnya kepada beliau saw. Salam artinya keselamatan, dengan demikian terang lah bahwa Rasulallah saw. selalu berdo'a keselamatan dan ampunan untuk ummatnya.

Ibnu Taimiyyah sendiri dalam beberapa kitabnya menegaskan bahwa ber tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan. Beliau tidak membeda-bedakan apakah tawassul itu dilakukan orang selagi Rasulallah saw. masih hidup, setelah wafat, dihadapan beliau sendiri ataupun diluar pengetahuan beliau saw. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Al 'Izzu bin 'Abdussalam yang memperbolehkan orang bertawassul pun diketengahkan juga oleh Ibnu Taimiyyah didalam kitab Al-Fatawil-Kubra. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam risalah yang ditulis nya kepada Al-Maruzy berkata: Bahwa ia dalam berdo'a kepada Allah swt. bertawassul dengan Rasulallah saw.

Kami sayangkan, walaupun banyak dalil mengenai tawassul/istighotsah serta wejangan para ulama pakar dalam buku ini, masih ada saja golongan yang mengingkari atau sampai-sampai berani mensyirikkan orang-orang yang berdo’a pada Allah swt. sambil menyertakan nama beliau saw. atau para ahli taqwa lainnya didalam do’anya atau bertabarruk pada mereka ini.

Apakah golongan pengingkar ini tidak siap untuk mengambil pengajaran dari sebagian Al-Qur’an dan Sunnah karena berlawanan secara langsung dengan keyakinan literalisme mereka?, sehingga ulama-ulama mereka berusaha sebisa mungkin menyembunyikan firman Allah dan hadits-hadits agar orang-orang tetap tidak mengetahui riwayat-riwayat yang telah di kemukakan tadi. Golongan pengingkar ini juga berusaha meyakinkan dirinya bahwa hanya Allah sajalah yang bisa diminta secara langsung, dan telah Syirik jika berkeyakinan bahwa Allah mempunyai beberapa perantara antara Dia dan mahlukNya !

Kami juga ingin bertanya lagisetelah adanya keterangan riwayat-riwayat dan wejangan para ulama pakar dibuku ini pada golongan pengingkar tawassul/ tabarruk ini:

‘Apakah Rasulallah saw. dan para sahabatnya yang menjalankan tawassul dan tabarruk tidak mengerti makna nash Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mereka untuk melarang serta mensyirikkan tawassul, tabarruk yang tercantum dilembaran buku ini ? Apakah mungkin para ulama pakar yang sudah dikenal pribadi mereka sendiri mencantumkan riwayat-riwayat yang berbau kesyirikan, kekufuran, dan penyembahan kepada hamba Allah swt.? Apakah semua riwayat yang cukup jelas diperbolehkannya tawassul dan tabarruk itu, bukan dianggap sebagai dalil tawassul/tabarruk, karena berlawanan dengan pahamnya? Saya berlindung pada Allah dalam hal ini.

Hadits-Hadits tentang Legalitas/pembolehan Tawassul / Istighotsah

Sumber tulisan A. Shihabuddin.
Pada halaman ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadits dalam beberapa kitab standar Ahlusunah wal Jama’ah yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah terhadap Rasulallah saw. dan para hamba Allah yang sholeh. Dengan adanya dalil-dalil ini kita akan lebih mantep lagi atas legalitas, manfaat dan hikmah dari tawasuul dan tabarruk tersebut.

Hadits-hadits yang menyebutkan tentang masalah itu adalah sebagai berikut:
– Riwayat yang mengisahkan tawassulnya Nabi Yusuf as kepada Rasulallah saw. , waktu beliau didalam sumur, At-Tsa’labi mengisahkan:

“Pada keempat harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s. mendatanginya dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur’? Jawab Yusuf as: ‘Saudara-saudaraku’. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa? Yusuf as berkata: ‘Mereka dengki karena kedudukanku di depan ayahku’. Jibril as. berkata: ‘Maukah engkau keluar darisini’? Yusuf a.s.berkata mau. Jibril as berkata: ‘Ucapkanlah (do’a pada Allah swt.) sebagai berikut’: ‘Wahai Pencipta segala yang tercipta, Wahai Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang Menyertai segala kumpulan, Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang Dekat dan Tidak berjauhan, Wahai Yang Menemani semua yang sendirian, Wahai Penakluk yang Tak Tertakluk kan, Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai Yang Hidup dan Tak Pernah Mati, Wahai Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian, Wahai Pencipta langit dan bumi, Wahai Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan dan Kemuliaan, aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan dan dari segala kesempitan, Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari tempat yang tak aku duga ’ “.
Lalu Yusuf a.s. mengucapkan do'a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam sumur, menyelamatkannya dari reka-perdaya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduganya”. ( At Tsa’labi 157, Fadhail Khamsah 1:207).

Lihat riwayat ini, Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril as. untuk berdo’a pada Allah swt. agar bisa cepat keluar dari sumur dengan sholawat serta tawassul kepada Rasulallah saw.dan keluarganya. Begitu juga riwayat Nabi Adam as. yang telah kami kemukakan sebelumnya, yang mana Rasulallah saw. dan keluarganya ini belum dilahirkan dialam wujud ini !

– Do’a masih akan terhalang bila orang yang berdo’a tersebut tanpa bertawassul dengan bersholawat pada Nabi saw.. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap do’a antara seorang hamba dengan Allah selalu diantarai dengan hijab (penghalang, tirai) sampai dia mengucapkan sholawat pada Nabi saw.. Bila ia membaca sholawat, terbukalah hijab itu dan masuklah do’a.’ (Kanzul ‘Umal 1:173, Faidh Al-Qadir 5:19)

– Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib kw. juga berkata, Rasulallah saw. bersabda: “Setiap do’a terhijab (tertutup) sampai membaca sholawat pada Muhammad dan keluarganya”. ( Ibnu Hajr Al-Shawaiq 88 )

– Juga ada riwayat hadits sebagai berikut: “Barangsiapa yang melakukan sholat dan tidak membaca shalawat padaku dan keluarga (Rasulallah saw.), sholat tersebut tidak diterima (batal)”. (Sunan Al- Daruqutni 136)

– Mendengar sabda Nabi saw. ini para sahabat diantaranya Jabir Al-Anshori berkata: ‘Sekiranya aku sholat dan didalamnya aku tidak membaca sholawat pada Muhammad dan keluarga Muhammad aku yakin sholatku tidak di terima’. (Dhahir Al-Uqba : 19)

Begitu juga Imam Syafi’i dalam sebagian bait syairnya mengatakan: “Wahai Ahli Bait (keluarga) Rasulallah, kecintaan kepadamu diwajibkan Allah dalam Al-Qur’an yang diturunkan, Cukuplah petunjuk kebesaranmu, Siapa yang tidak bersholawat (waktu sholat) padamu tidak diterima sholatnya.... “ .

Banyak hadits yang meriwayatkan agar do’a kita dikabulkan oleh Allah swt. dengan bertahmid dan bersholawat dahulu sebelum memulai membaca do’a. Begitu juga banyak riwayat bagaimana cara kita bersholawat kepada Rasulallah saw. dan keluarganya serta manfaatnya sholawat itu. Tidak lain semua itu termasuk tawassul/wasithah pada Rasulallah saw. dan keluarganya, bila tidak demikian dan tidak ada manfaatnya, maka orang tidak perlu menyertakan/menyebut nama beliau saw. dan keluarganya waktu berdo’a pada Allah swt.!

 Dari Ustman bin Hunaif yang mengatakan: “Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasulllah; ‘Berdo’alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt) menyembuhkanku!’. Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)’. Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah kepada-Nya (untukku)!’. Rasulallah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia (lelaki tadi) membaca do’a tersebut:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang meng- hampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafa’at bagiku’.

Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta sebelumnya". (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadits ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadits ke-10495; Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits ke-1385; Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789; al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1, hal 313 ; Talkhish al-Mustadrak, adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula ).

Syeikh Ja'far Subhani melakukan kajian tentang sanad hadits diatas ini di dalam bukunya yang berjudul Ma'a al-Wahabiy yinfi Khuthathihim wa 'Aqa'idihim. Dia berkata, "Tidak ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini. Bahkan, ulama yang dipercaya oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui keshohihan sanad hadits ini, dengan mengatakan, 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja'far yang terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu Ja'far al-Khathmi. Dia seorang yang dapat dipercaya.’

Raffa'i –seorang penulis golongan Wahabi abad ini– yang selalu berusaha mendhaifkan/melemahkan hadits-hadits yang khusus berkaitan dengan tawassul dia pun menshohihkan hadits diatas ini. Dia berkata tentang hadits ini: “Tidak diragukan bahwa hadits ini shahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada keraguan sedikitpun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan perantaraan do’a Rasulallah saw..” (Al-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 158).

Raffa’i berkata didalam kitabnya ini, "Hadits ini telah diriwayatkan oleh Nasa'i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Zaini Dahlan, didalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan hadits ini beserta dengan sanad-sanadnya yang shohih yang kesemuanya berasal dari Bukhari didalam tarikh-nya, serta Ibnu Majah dan Hakim didalam Mustadrak mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadits ini didalam kitabnya al-Jami' (Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab Khulashah al-Kalam. dan At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66).

Walaupun Raffa’i hanya mengatakan orang buta tersebut bisa melihat dengan perantaraan do’a Rasulallah saw. toh dia mengakui kesohihan hadits yang berkaitan dengan tawassul ini ! Yang sudah pasti orang buta tersebut berdo’a kepada Allah swt. sambil bertawassul dan menyertakan nama Rasulallah saw. dalam do’anya dan beliau saw. sendiri telah mengajarkan kepadanya bagaimana cara berdo’a kepada Allah swt..!

Apakah Rasulallah saw. akan mengajarkan kepada orang buta itu sesuatu yang berbau kesyirikan atau kekufuran? Mengapa Rasulallah saw. memerintahkan kepada orang buta tersebut agar menyebutkan nama beliau saw. didalam do’anya, kalau semuanya ini tidak mempunyai keistemewaan ?

Anehnya, sebagian pengikut Wahabi menyatakan bahwa tawassul/istigho- tsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan Maha Mendengar dan Mengetahui (Allah swt). Mereka berkata: “Kenapa kita harus berdo’a melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah dan do’anya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha Men-dengar lagi Maha Mengetahui atas do’a para hamba-Nya?”.

Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh golongan pengingkar yang berpikiran semacam itu adalah: Mengapa Rasulallah saw. menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan, “…Namun jika engkau meng- hendaki maka aku akan berdo’a (untukmu)”, apakah Nabi –makhluk kekasih Ilahi itu– tidak mengerti bahwa Allah swt. Maha Mendengar dan Maha Mengetahui?

Dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena musibah tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi ‘Bi Muhammadin’ adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) nabi Muhammad saw. yang tertera dalam kata ‘Nabiyyurrahmah’. Jika tidak maka sejak semula Nabi saw. akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan hanya do’a Nabi– yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah saw.

– Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan ber- bangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu’. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat ”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)

Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasulallah saw. mengajar- kan kepada kita bagaimana kita berdo’a untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta do’a dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin ‘alaika‘ (demi para pemohon kepada-Mu), Rasulallah saw. disitu tidak menggunakan kata ‘Bi haqqi du’a Saailiin ‘alaika’ (demi do’a para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasulallah saw. membenarkan –bahkan mengajarkan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah swt.– untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah swt. dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat dan sebagainya.

– Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da ummi ‘ (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw. menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasulallah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasulallah saw. sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan meng- gunakan tangan beliau saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulallah saw. berbaring disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”. (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)

 Hadits yang serupa diatas yang diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath. Rasulallah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan para Nabi sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, ketika Fathimah binti Asad isteri Abu Thalib, bunda Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. wafat, Rasulallah saw. sendirilah yang menggali liang-lahad. Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk kedalam lahad, kemudian berbaring seraya bersabda:

“Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku – panggilan ibu, karena Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya– lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas dan Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhumaa– memasukkan jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)

Pada hadits itu Rasulallah saw. bertawassul disamping pada diri beliau sendiri juga kepada para Nabi sebelum beliau saw.! Dalam hadits itu jelas beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. sambil menyebutkan dalam do’anya demi diri beliau sendiri dan demi para Nabi sebelum beliau saw. Kalau ini bukan dikatakan sebagai tawassul, mengapa beliau saw. didalam do’anya menyertakan kata-kata demi para Nabi ? Mengapa beliau saw. tidak berdo’a saja tanpa menyebutkan ...demi para Nabi lainnya ?
Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin Malik.
Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling memper- kuat kebenarannya.

Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulallah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasulallah saw. memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.

– Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasulallah saw. dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i hal. 300)

Penjelasan-penjelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadits-hadits yang ada. (Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)

Walaupun beberapa hadits di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia sholeh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/ istighotsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat? Marilah kita ikuti kajian selanjutnya.

Prilaku Salaf Sholeh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabi’in dan tabiut at-tabi’in adalah termasuk dalam golongan salaf sholeh dimana mereka hidup sangat dekat dengan zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah saw. dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung men- dapat jawabannya dari baginda Rasulallah saw.. Salah satu dari sekian perkara yang menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemaham an para sahabat berkaitan dengan konsep istighotsah /tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.
Disini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang menjelaskan pemaham an Salaf Sholeh–yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia Rasul saw.– berkaitan dengan konsep tersebut, dan praktek mereka dalam kehidup an sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:

– Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya (Nabi) dengan mengatakan:

“يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ”َ.

(“Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untuk ku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku”). (Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasulallah saw., serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah. Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasulallah saw. terhadap salah seorang sahabat itu sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui diri Muhammad sebagai Rasulullah saw., satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahabi memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.

 Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas bin Malik :

عَنْ أنَسِ, أنَّ عُمَرَبْنَ الخَطَّابِ كَانَ إذَاقُحِـطُوْا إستََسْـقََى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
المُطَّلِبِ فَقَالَ: اللهُـمَّ إنَّـا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَإنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ
بَعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري)

“Bahwasanya jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab memohon hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib. Dalam do’anya ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi saw. dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata; ‘Maka Allah menurunkan hujan pada mereka’ ”. (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

Perbuatan khalifah Umar dengan tawassul pada paman Nabi saw. tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang mengingkari, mensyirikkan atau tidak membenarkan prakarsa khalifah ini. Khalifah Umar ra. yang sudah terkenal dikalangan kaum muslimin masih menyertakan paman Rasulallah saw. didalam do’anya kepada Allah swt., apalagi kita-kita ini.

 Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khattab telah memohon do'a hujan melalui Abbas (paman Rasulallah) dengan menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shohih).

 Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait (keluarga) Nabi”.

 Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: 'Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain'. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah telah memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: ‘Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing’. ( Lebih kami sayangkan lagi ada sebagian ulama yang mengakui keshohihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tawassul dan tabarruk, tapi mereka berani memutar balik maknanya dan sampai-sampai berani melarang dan mensyirikkan hal tersebut pada orang yang mengamalkannya! Na’udzubillah . )

Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasulallah saw.– melakukan hal yang pernah diajarkan Rasulallah kepada para sahabat mulia beliau saw.. Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah wafat adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada dalil baik dari firman Ilahi atau Sunnah Rasulallah saw. yang menyatakan kalau tawassul pada orang yang telah wafat itu haram sedangkan pada orang yang masih hidup dibolehkan! Sebenarnya tawassul pada pribadi seseorang baik yang masih hidup maupun telah wafat itu inti/pokoknya adalah sama, yaitu berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama pribadi seseorang itu. Kalau ini dilarang berarti semua bentuk tawassul itu harus diharamkan juga.

Apakah golongan pengingkar ini lupa atau pura-pura lupa bahwa nabi Adam as. bertawassul pada Nabi saw. yang antara lain diriwayatkan oleh ulama pakar yang mereka andalkan yaitu Syeikh Ibnu Taimiyyah, begitu juga mengenai tawassul Nabi Yusuf a.s kepada beliau saw., tawassul mereka pada Nabi saw. yang mana beliau bukannya sudah wafat malah belum dilahirkan dialam wujud ini ! Begitu juga tawassul Rasulallah saw. kepada para Nabi sebelum beliau saw.

Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasulallah saw.– juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara dhahir telah mati. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas menjelaskan akan dibolehkannya tawassul/istighotsah dan menyangkal pendapat madzhab Wahabi dan pengikutnya yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan –Maha Mendengar dan Maha Mengetahui– Allah swt.. Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul melalui diri selain Rasulallah saw. (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah swt..

Tawassul kepada Rasulallah saw. dikala wafatnya:
 Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)

Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw. telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan madzhab Wahabi bahwa yang telah wafat itu sudah tiada maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme –pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits Syaddur Rihal.

Apakah Bilal khusus datang jauh-jauh dari Syam hanya sekedar berziarah dan memeluk pusara Rasulallah saw. tanpa mengatakan apapun (tawassul) kepada penghuni kubur tersebut? Sekarang mari kita lihat riwayat lain yang berkenaan dengan diperbolehkannya tawassul secara langsung kepada yang telah meninggal:

“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya didalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)

Hadits-hadits diatas mencakup sebagai dalil tentang kebolehan tabarruk dan tawassul kepada orang yang dhahirnya telah wafat, hal itu telah dicontohkan oleh tokoh Salaf Saleh.

Apakah golongan pengingkar lupa siapa Bilal al-Habsyi? Apakah Bilal bukan sahabat mulia Rasulallah saw. yang tergolong Salaf Sholeh yang harus diikuti? Apakah mungkin Bilal lupa atau tidak tahu bahwa menangis di atas pusara, apalagi sambil meletakkan muka diatasnya tergolong syirik atau bid’ah (versi Wahabisme)? Entah siapa yang harus diikuti, fatwa Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme) seorang khalaf (lawan Salaf) yang melarang perbuatan itu, ataukah kita harus mencontoh apa yang dilakukan Bilal dan Abu Ayyub al-Anshari yang keduanya tergolong sahabat mulia Rasulallah?

 Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumi- kan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).

Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124, ‘Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’. Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa meng- hendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.

Jika tawassul/istighotsah terhadap orang yang telah wafat adalah syirik, bid’ah, tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i), –sebagaimana yang di-isukan oleh kelompok golongan pengingkar– tidak mungkin Imam Ali bin Abi Thalib kw. yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim akan berdiam diri yakni tidak melarangnya. Jika hal itu tidak legal/dibolehkan (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan:

1. Imam Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah wafat. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasulallah saw. telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Imam Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadits-hadits di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasulallah saw. yang dijuluki al-Amin (di- percaya) itu?

2- Hadits-hadits pujian Rasulallah terhadap pribadi khalifah Ali itu benar. Dan diamnya Imam Ali atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa ber- tawassul/istighotsah terhadap orang yang dhahirnya telah wafat itu adalah legal menurut syari’at Islam. Karena telah dipahami bahwa khalifah Ali kw. sebagai pintu gerbang ilmu Rasulallah saw., yang selalu bersama kebenar an, selalu bersama al-Qur’an dan yang diberi mandat Rasulallah saw. untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, setelah wafat Rasulallah saw.. Tentu, bagi seorang Ahlusunnah wal Jama’ah sejati, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua ini. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia mau pun di akhirat, terkhusus bagi pengaku Ahlus sunnah wal Jama’ah. Kecuali jika kita melakukan kesalahan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahabi, mudah menvonis sebuah hadits yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis hadits lemah (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.

 Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhurah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:

“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahu kan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.

Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengah- kan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabir jilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnya Kisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.

Hadits-hadits diatas, jelas lelaki itu tawassul kepada Rasulallah saw agar beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. untuk orang itu. Kalau ini bukan di katakan sebagai dalil tawassul, mengapa orang tersebut tidak langsung ber- do’a kepada Allah swt. tanpa mohon kepada beliau saw. untuk mendo’akannya ?

 Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia (pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’ (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

 Hadits serupa diatas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’. Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)

 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih dari Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar–. yang ber- kata: “Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang kemakam Nabi saw. seraya berkata: ‘Ya Rasulullah mohonkan (kepada Allah swt) hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa’. Kemudian didalam tidur bermimpi datanglah sese- orang dan berkata kepadanya: ‘Datangilah Umar’! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab Fathul Bari 2/577)

 Hadits lainnya yang semakna dengan hadits terakhir diatas ini tentang tawassul pada Rasulallah saw. dimuka makam beliau yaitu yang diketengah- kan oleh Al-Hafidz Abubakar Al-Baihaqy. Hadits itu diriwayatkan secara berangkai oleh para perawi: Abu Nashar, Ibnu Qatadah dan Abubakar Al-Farisy dari Abu ‘Umar bin Mathar, dari Ibrahim bin ‘Ali Adz-Dzihly, dari Yahya bin Yahya dari Abu Mu’awiyah, dari A’masy bin Abu Shalih dan dari Malik bin Anas yang mengatakan sebagai berikut:

“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana ...bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.

Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny. Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.

Para imam ahli hadits yang mengetengahkan hadits tersebut dan para imam berikutnya yang mengutip hadits itu dalam berbagai kitab yang mereka tulis, tidak ada seorangpun diantara mereka ini yang mengatakan bahwa tawassul dengan makam Rasulallah saw. itu perbuatan kufur, sesat atau syirik. Dan juga tidak ada diantara mereka itu yang mengatakan hadits tersebut Palsu. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany sendiri turut mengetengahkan dan membenarkan hadits tersebut. Mengenai kedalaman ilmu, keutamaan perangai para imam yang mengetengahkan hadits tersebut telah dikenal semua ulama tidak perlu keterangan yang lebih jauh. Hadits ini jelas sebagai dalil tawassul kepada Rasulallah setelah wafatnya, sahabat Nabi saw. ini bukan hanya berziarah saja kepada beliau saw., tapi sambil mohon kepada Rasulallah saw. agar beliau saw. berdo’a kepada Ilahi untuk menurunkan hujan.

Riwayat-riwayat di atas juga menguatkan bahwa berapa di kalangan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara dhahir telah meninggal dunia. Lantas apakah golongan madzhab Wahabi masih ber- sikeras menyatakan bahwa Salaf Sholeh tidak pernah mencontohkan per- buatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syari’at Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah golongan ini berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang telah wafat? Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan golongan pengingkar, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Sholeh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummul mukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.

 Tawassul dengan hanya menyebut nama Rasulallah saw.. Al-Haitsam bin Khanas meriwayatkan kesaksiannya sendiri sebagai berikut:

“Ketika aku datang kepada ‘Abdullah bin Umar ra.kulihat ada seorang yang menderita kejang kaki (kaku hingga tidak dapat berjalan). ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai‘! Orang yang kejang itu berseru: ‘Ya Muhammad’ ! Saat itu juga aku melihat ia langsung dapat berjalan seperti orang yang terlepas dari belenggu “.

 Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut:

“Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.
Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah/tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.

 Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Utsman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasulallah saw.) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Utsman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, “Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Utsman bin Affan agar memenuhi hajat- nya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula mem- perhatikan hajatnya. Kemudian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu, lantas Utsman bin Hunaif mengatakan kepadanya: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat’. Seusainya maka katakanlah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkan-lah hajatku’ Kemudian sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu’.

Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lalu ia kembali mendatangi pintu rumah Utsman (bin ‘Affan). Utsman pun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Kemudian ia menyebutkan hajatnya, dan Utsman pun segera memenuhinya. Ia (Utsman) berkata kepadanya: ‘Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja’. Ia (Utsman bin Affan) pun kembali mengatakan: ‘Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)’! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Utsman bin Affan dan kembali bertemu Utsman bin Hunaif seraya berkata: ‘Semoga Allah membalas kebaikanmu’ ! Dia (Utsman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku.

Utsman bin Hunaif berkata: ‘Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah saw. didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit kehilangan kekuatan penglihatannya, kemudian Nabi bersabda kepadanya: ‘Bersabarlah’! Lelaki itu menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku’. Nabi bersabda: ‘Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a-do’a berikut….’
(info: ini mengisyaratkan pada hadits tentang sahabat yang mendatangi Rasulallah karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadits ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan [cara tawassul itu]. Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit”. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadits ini sahih)

Al-Mundziri (At-Targhib jilid 1/44 dan Majma’uz Zawaid jilid 11/279) mengatakan hadits diatas ini shahih begitupun juga Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan At-Thabarani diatas ini berasal dari Abu Ja’far yang nama aslinya Umar bin Yazid, seorang perawi hadits yang dapat dipercaya. Abu Abdullah al-Maqdisi mengatakan bahwa hadits itu shahih. Juga Al-Hafidz Nuruddin Al-Haitsami membenarkan hadits itu.

Lihat hadits diatas ini contoh yang cukup jelas seorang yang diajari oleh Ustman bin Hunaif agar urusannya dimudahkan oleh Allah swt. dengan berdo'a dan tawassul kepada Rasulallah saw. sambil menyertakan dalam do’anya itu nama Rasulallah saw. dan memanggil beliau saw. Pada waktu itu tidak ada satupun sahabat yang memprotes. Bila hal tersebut dilarang/ di haramkan dalam agama Islam atau berbau syirik maka tidak mungkin akan di amalkan oleh sahabat Nabi Utsman bin Hunaif ini.

Utsman bin Hunaif ra. pernah menyaksikan sendiri peristiwa seorang buta yang mengeluh pada Rasulallah saw. (baca haditsnya pada halaman sebelumnya), kemudian Rasulallah saw. menyuruh seorang tuna netra untuk wudu' dan sholat dua raka'at. Setelah sholat seorang buta itu berdo'a pada Allah swt. sambil menyertakan nama Nabi saw. dalam do'anya itu. Bila hal ini berbau syirik tidak mungkin Rasulallah saw. memerintahkan atau mengajari orang ini untuk berdo'a sambil tawassul dengan nama beliau. Beliau saw. adalah contoh dari ummatnya semua perbuatan yang beliau lakukan bakal ada ummatnya yang meniru dan beliau saw. tidak akan dan tidak pernah menyuruh ummatnya untuk melakukan sesuatu yang keluar dari akidah syariat Islam dan berbau kesyirikan !!

Sedangkan hadits yang terakhir diatas Utsman bin Hunaif atas prakarsanya sendiri mengamalkan cara berdo’a yang diajarkan Rasulallah saw. pada orang buta tersebut. Peristiwa terakhir ini terjadi setelah wafat Rasulallah saw. pada zamannya khalifah ketiga.

Utsman bin Hunaif ra memahami ajaran Rasulallah saw.yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada beliau saw. pada masa hidupnya namun ia juga terapkan pada setelah kematian beliau saw.. Apakah pemahaman sahabat Utsman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Utsman bin Hunaif yang menerapkan hadits Rasulallah tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang wafat? Jika ada pengikut sekte Wahabi yang berani menyatakan bahwa sahabat Utsman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummul-mukminin ‘Aisyah pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak?

Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul/ istighotsah kepada Rasulallah saw. yang telah wafat ? Atau selama ini pemahaman madzhab Salafi (baca:Wahabi) yang salah ?, bahwa Nabi tidak ‘wafat’, dhahirnya saja ‘wafat’, tetapi ruh beliau saw. selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju kepada Allah swt.

Hadits-hadits diatas dan masih banyak hadits-hadtis tawassul yang tidak di kemukakan disini itu semuanya jelas mengarah kebolehan atau legalitas dari tawassul. Karena kefanatikan dan keangkuhan kepada madzhabnya, golongan pengingkar selalu berusaha menolak dan memutar balik makna hadits-hadits yang berlawanan dengan faham akidahnya. Padahal, riwayat sahabat Utsman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320) sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Namun, bagai- mana pun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.

Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa ulama-ulama pakar telah menulis mengenai bertawassulnya Nabi Adam as. kepada Rasulallah saw. umpama; di dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na'im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya Rasulallah saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya. Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain.

Disamping itu, sesuatu yang menunjukkan diperbolehkannya tawassul/ istighotsah ialah, ijma’ kaum muslimin, dan begitu juga sejarah hidup orang-orang yang sezaman dengan Rasulallah saw. Kaum muslimin, sejak dahulu hingga sekarang, mereka bertawassul kepada para nabi dan orang-orang sholeh. Tidak ada seorang ulama pun yang memprotes dan mengharamkan, mensyirikkan perbuatan ini, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya Begitu pun juga halnya dengan permintaan tolong kepada hamba Allah, tidak langsung kepada Allah swt., itu adalah mustahab. Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa Allah swt. berfirman:
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)

Apakah kita benar-benar menyekutukan sesuatu kepada Allah ketika kita percaya bahwa Jibril as, orang beriman dan para malaikat yang juga bisa sebagai Maula (pelindung) kita dan Naseer (Penolong) bersama-sama dengan Allah ?

Jika kita tetap memakai pengertian Syirik sebagaimana pendapat golongan pengingkar maka kita secara otomatis telah membuat Allah sendiri Musyrik (Na‘udzubillah) dan begitu pula dengan orang-orang yang percaya terhadap seluruh ayat Al-Quran. Dan masih banyak firman Allah swt. yang mengatakan selain Dia ada hamba-hamba-Nya yang bisa menolong.

Sedangkan dalam hadits-hadits Rasulallah saw. diantaranya disebutkan:

وَاللهُ فِى عَوْنِ العَبْدِ مَاكَانَ العَبْدُ فِى عَوْنِِ أخِيْهِ
Allahmenolong hamba-Nya selagi hamba itu mau menolong saudaranya.


إنَّ لِلَّهِ خلْـقًا خَلَقَهُمْ لِحَوَائِجِ النَّاسِ يَفْزَعُ النَّاسُ إلَيْهِمْ فِي حَوَائِجِهِمْ واُولاَئِـكَ الآمِنُوْنَ مِنْ عَذَابِ اللهِ


“Allah mempunyai makhluk yang diciptakan untuk keperluan orang banyak. Kepada mereka itu banyak orang yang minta pertolongan untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang yang selamat dari siksa Allah”.

– Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).

– ‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.

– ‘Utbah bin Ghazwan mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jika seorang dari kalian kehilangan sesuatu atau ia mem- butuhkan bantuan, saat ia berada didaerah dimana ia tidak mempunyai kenalan, maka ucapkanlah; ’Hai para hamba Allah, tolonglah aku’, karena sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba (makhluk-makhluk ciptaan-Nya selain manusia) yang tidak kita lihat”. Dan ‘Utbah sendiri telah mencoba melaksanakan anjuran Rasulallah saw. ini !

Riwayat diatas ini diketengahkan oleh At-Thabarani dengan para perawi yang dapat dipercaya, kecuali Yazid bin ‘Ali yang oleh At-Thabarani di pandang lemah, karena Yazid ini tidak hidup sezaman dengan ‘Utbah. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang tidak kami cantumkan disini.

Hadits-hadits diatas ini juga menunjukkan permintaan tolong kepada hamba Allah yang tidak kelihatan (ghoib), tidak langsung minta tolong kepada Allah!
Apakah orang yang minta pertolongan pada hamba Allah tidak langsung kepada Allah swt. disebut ‘musyrik atau durhaka’?

Jadi sekali lagi permintaan tolong/istighotsah itu bukan berarti berbuat ke kufuran apa pun kecuali jika disertai keyakinan sebab utama pertolongan bukan dari Allah swt. melainkan dari orang yang dimintai tolong itu sendiri. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa orang yang mohon pertolongan itu adalah upaya/iktisab sedangkan yang dimintai pertolongan itu hanya sekedar washithah.

Begitupun juga soal minta syafa’at kepada Nabi atau kepada para waliyullah atau kepada orang shaleh yang telah wafat. Namun kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa Nabi, para waliyullah dan orang-orang shalih yang telah wafat tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga percaya bahwa yang mohon syafa’at itu adalah ‘upaya/ iktisab’ sedangkan yang diminta syafa’at adalah ‘washithah’, tidak lebih dari itu !!

Allah swt. menetapkan bahwa Ka’bah sebagai arah kiblat kita dalam menunaikan sholat. Ini bukan berarti kita disuruh atau menyembah Ka’bah tersebut tapi tidak lain kita hanya menghormati/ta’dzim pada Ka’bah itu, karena sebagai pusaka suci peninggalan Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahim a.s. dan sebagai bangunan pertama yang didirikan manusia dibumi sebagai tempat beribadah kepada Allah swt. Bila ada seorang muslim yang ber- keyakinan bahwa dia beribadah demi Ka’bah karena ruku’ dan sujud menghadap kearahnya atau mencium dan mengusap Hajar Aswad sebagai ibadah/penyembahan, maka hancurlah keimanan dan keislaman-nya. Begitu juga sama halnya dengan tawassul, kita berdo’a kepada Allah swt. bukan menyekutukan-Nya atau menyembah kepada hamba Allah yang kita tawassuli tersebut !

Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai wasithah. Rasulallah saw. menerima wahyu juga melalui wasithah yaitu malaikat Jibril as. Banyak hadits yang meriwayatkan bahwa para sahabat sering mengadukan duka deritanya pada beliau saw. dan mohon dido’akan oleh beliau agar mem- peroleh kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan demikian beliau sendiri juga merupakan wasithah bagi para sahabatnya. Beliau saw. tidak pernah bersabda pada sahabatnya jangan mengadukan nasibmu padaku, atau kalian berbuat kufur atau syirik karena minta padaku tidak langsung pada Allah swt., dan sebagainya. Para sahabat mengetahui pula bahwa apa yang diberikan Rasulallah saw. pada hakekatnya adalah seizin Allah dan atas limpahan karunia-Nya kepada beliau saw.

Sebagaimana sabda beliau saw.: وَإنَّمَا أنَا قَا سمٌِ وَاللهُ مُعْطيِ “Aku hanyalah membagikan, Allah-lah yang memberi”.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar dari saudara-saudara kita yang berkata; Si A Penolong si B atau kebutuhan si A dicukupi oleh si B dan sebagainya. Padahal kita tahu bahwa yang menolong dan mencukupi kebutuhan semua makhluk adalah Allah swt. Minta pertolongan pada orang lain ini tidak dipandang sebagai perbuatan syirik karena didalamnya tidak terdapat unsur mempertuhankan orang yang dimintai pertolongan tersebut.

Tawassul itu merupakan salah satu cara berdo’a dan juga merupakan satu cara menghadapkan diri kepada Allah swt., sedangkan yang menjadi tujuan pokok hakiki/sebenarnya adalah Allah swt. Pihak yang kita tawassuli sudah tentu orang yang dicintai oleh orang yang bertawassul padanya, dengan mempunyai keyakinan pula bahwa Allah swt. cinta pada pihak yang dijadikan wasilah. Jika tidak demikian, tidak mungkin orang akan bertawassul padanya. Bertawassul/berwasilah ini bukan suatu kelaziman atau keharusan hanya sarana yang bermanfaat, dikabulkan atau tidaknya wasilah ini sepenuhnya ditangan Allah swt. Karena semua do’a itu adalah mutlak tertuju kepada Allah swt.

Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa segenap kaum muslimin telah bersepakat cara berwasilah dengan amal kebaikan, umpama orang yang berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah dan lain sebagai nya tidak lain ia bertawassul dengan amal kebaikan tersebut, bahkan ke mungkinan terkabul permohonan/ do’anya kepada Allah swt. lebih dapat di harapkan. Tawassul dengan cara ini dengan amal kebaikan telah di sepakati kebenarannya oleh para ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dalam risalahnya ‘Qa’idah Jalilah Fit Tawassul Wal Wasilah’, karena ada hadits Rasulallah saw. dari Abdullah bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang menceriterakan tentang tiga orang yang tersekap di dalam goa hingga tidak bisa keluar. Masing-masing berdo’a pada Allah swt. dengan tawassul pada amal kebaikannya (yang telah pernah mereka amalkan) sendiri-sendiri. Orang pertama bertawassul dengan amal baktinya pada orang tua. Orang kedua bertawassul dengan amal shalihnya dan menjauhkan diri dari maksiat, sedangkan orang yang ketiga bertawassul dengan amal menjaga amanat dan menunaikannya dengan baik. Terbukti dengan tawassul secara begitu do’a mereka dikabulkan oleh Allah swt. akhir- nya mereka bisa keluar dari goa tersebut.

Sedangkan letak perberdaan pendapat para ulama yaitu bila bertawassul tidak dengan amal kebaikannya tapi tawassul dengan pribadi orang lain seperti riwayat-riwayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sebenarnya pendapat-pendapat dalam hal ini hanya mengenai bentuknya saja, bukan mengenai inti/pokok persoalannya. Sebab, pada hakekatnya bertawassul dengan pribadi seseorang sama artinya dengan tawassul dengan amal kebaikan pribadi yang ditawassuli itu. Karena pribadi orang yang ditawassuli tersebut adalah pribadinya yang diyakini amal kebaikannya. Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt..

Pengertian tawassul menurut Ibnu Taimiyyah:

Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:

“Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.

Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.

Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu dibenarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.” Dari perkataan Ibnu Taimiyyah diatas kita dapat diambil dua pengertian:

a). Seorang Muslim yang taat, mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulallah saw. serta mempercayai syafa’at beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawassul dengan ketaatannya, kecintaannya dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau saw. Kita bertawassul dengan Nabi kita Muhammad saw. dibawah kesaksian Allah swt., bahwa tawassul kita itu benar-benar atas dasar keimanan dan kecintaan kita kepada beliau saw. Tambah lagi dengan keyakinan kita bahwa beliau saw. adalah seorang Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi martabatnya dalam pandangan Allah swt.

Itulah yang melandasi tawassul kita dengan beliau saw. dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt.. Tidak ada seorang pun dikalangan kaum muslimin yang dalam bertawassul dengan Nabi saw. tidak dengan didasari pengertian seperti itu atau pengertian-pengertian lain yang tidak semestinya. Hanya saja, ada yang dalam bertawassul mengucapkan pengertian itu dengan lisan, ada pula tidak. Namun dapat dipastikan semuanya tidak mem- punyai pengertia selain itu.

b) Ibnu Taimiyyah mengatakan, bahwa barang siapa yang dido’akan oleh Rasulallah saw. ia dapat bertawassul dengan do’a beliau. Mengenai itu kita mempunyai keyakinan, bahwa Rasulallah saw. senantiasa mendo’akan ummatnya. Hal ini kita ketahui dari berbagai hadits, antara lain yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra.: “Aku tahu benar bahwa Rasulallah saw. orang yang baik hati, karena itu aku berani berkata kepada beliau: ‘Ya Rasulallah, berdo’alah untukku’. Kemudian beliau berdo’a; ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi ‘Aisyah atas segala dosanya dimasa lalu dan dimasa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara terang-terangan’. Aisyah ra tertawa. Kepadanya Rasulallah saw. bertanya: ‘Apakah engkau gembira mendengar do’aku? Ia menjawab: ‘Bagaimana aku tidak gembira karena do’a anda’? Rasulallah saw. kemudian menegaskan: ‘Itulah do’a bagi ummatku yang kuucapkan setiap sholat’ ”. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Bazar dengan para perawi hadits shohih, dan Ahmad bin Manshur Ar-Ramadiy sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab Majma’uz-Zawa’id).

Karena itu setiap muslim boleh bertawassul dengan Nabi Muhammad saw. dalam memanjatkan do’a kepada Allah swt. Misalnya dengan mengucapkan: “Ya Allah, Nabi dan Rasul-Mu Muhammad saw. telah berdo’a bagi ummat nya, dan aku ini seorang dari ummat beliau. Dengan do’a beliau aku bertawassul mohon kepada-Mu, ya Allah, agar diampuni segala dosa dan kesalahanku dan dikarunia rahmat-Mu….” dan seterusnya menurut apa yang di inginkan. Iapun boleh menyingkat do’a yang diucapkannya itu cukup dengan menyebut: “Ya Allah kupanjatkan do’a kepadamu dengan bertawassul pada Nabi dan Rasul-Mu, Muhammad saw….dan seterusnya”. Dengan kalimat singkat ini ia telah mengungkapkan isi hatinya sesuai dengan kalimat dalam do’a yang panjang sebelumnya. Dengan berdo’a seperti diatas ini tidak menyalahi ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama Islam!!

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab Imamnya madzhab Wahabi/Salafi tidak mengingkari tawassul ?

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah orang yang sering menolak atau mengharamkan tawassul, tetapi anehnya atas pertanyaan yang diajukan kepadanya, menjawabnya dalam kitab Al-Istifta: “Tidak ada salahnya orang bertawassul kepada orang-orang sholeh”. Lebih lanjut dia mengatakan, ‘bahwa pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang memperbolehkan tawassul khusus kepada Nabi Muhammad saw. saja, berlainan sekali dengan pendapat sementara orang yang tidak memperbolehkan minta pertolongan kepada sesama makhluk’.

Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berpendapat, bahwa persoalan tersebut adalah persoalan Fiqh. Ia mengatakan: ‘Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya’ “. Demikianlah antara lain yang dikatakan oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab dalam Majmu’atul-Muallafat bagian 111 halaman 68, yang diterbitkan oleh ‘Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud’ dalam pekan peringatan Muhammad Ibnu ‘Abdul-Wahhab.
Dengan demikian Muhammad Ibnul Wahhab melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik.

Sedangkan dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh, dan menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri (pengarang kitab Burdah) atas kalimat YA AKROMAL KHOLQ dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah sebagai berikut : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah (surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal. 68). Demikianlah Syeikh Abdul Wahhab.

Lepas dari itu semua, dengan adanya riwayat-riwayat baik dari Firman Allah swt., Sunnah Rasulallah saw. atau wejangan para ulama pakar yaitu mengenai tawassulnya Nabi Adam as. dan hamba Allah lainnya kepada Rasulallah saw. baik beliau saw. masih hidup maupun telah wafat, kita tidak perlu mempersoalkan apakah kisah ini benar atau tidak benar, shohih atau dho’if, namun kenyataan membuktikan bahwa para ulama pakar yang telah dikemukakan tadi mencantumkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka. Mungkinkah para ulama pakar –yang sudah dikenal ketakwaan dan ilmu mereka ini– mencantumkan sesuatu yang berbau kekufuran dan kesesatan atau kesyirikan? Atau mungkinkah mereka ini mengarang-ngarang seenak-nya sendiri tidak mempunyai rujukan dalil dari sunnah Rasulallah saw.? Apakah mereka ini telah dituduh mempropagandakan penyembahan kepada hamba Allah atau kepada kuburan dan lain sebagainya? Apakah semua riwayat tawassul itu semuanya palsu, dikarang-karang oleh para perawinya? Dengan satu dalil/riwayat yang shohih saja, sudah cukup sebagai dalil diperbolehkannya tawassul itu apalagi dengan banyaknya riwayat tentang masalah tersebut. Renungkanlah !

Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Obyek Tawassul / Istighotsah

Dalam al-Quran, Allah swt.. telah menekankan kepada ummat Muhammad saw. untuk melaksanakan tawassul, dan Dia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap do’a hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran:

Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung:
Allah swt. berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdo’a kepada Allah swt.. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah swt.., obyek utama do’a, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.

Tawassul melalui Amal Sholeh:
Amal sholeh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah swt. Amal sholeh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah swt. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah swt.. Ketika tawassul berarti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal sholeh adalah salah satu dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah swt. dalam al-Qur’an berfirman: “Dan (ingat- lah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo’a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ ” (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Sholeh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim al-Khalil agar Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.

Tawassul melalui Do’a Rasul:
Allah swt. dalam al-Qur’an (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul disisi-Nya. Allah swt., juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh– para manusia diperintah untuk tidak menyamakannya dengan seruan ter- hadap manusia biasa lainnya. Allah swt. berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih” (QS an-Nur: 63)

Bahkan dalam kesempatan lain Allah swt. juga menjelaskan, betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah swt. itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah swt. berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).

Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah swt. menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. dan menyatakan bahwa perbuatan kedua nya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad saw. di mata Allah swt.. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah swt... dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan ‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’ ” (QS at-Taubah: 94).

Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74).

Masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah saw. adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasulallah saw. semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan do’a –tentu do’a yang baik– dengan menjadikan Rasulallah saw. sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah swt. akan enggan menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah saw. maka kita telah menyeru Allah swt. dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.

Atas dasar itu, Allah swt. memerintahkan kepada para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonggak yang tidak tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah saw.) dan meminta pengampunan di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad saw.adalah kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah swt.

Dalam hal itu Allah swt... berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64). Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah swt...: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5).

Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah saw. memiliki kedudukan, kemuliaan dan keagungan di mata Allah swt.., Pencipta dan Penguasa alam semesta. Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad saw. semacam ini hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah saw. tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul saw. niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasulallah sebagai manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahabi ter- jerumus ke lembah penyesatan kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji Rasulullah saw.dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sohih, baik pujian yang ter- jelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia hakekat Muhammad saw. –dan nabi-nabi lain– ini pulalah yang akan kita jadikan dalil ‘Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Lahir telah wafat’, pada halaman selanjutnya.

Tawassul melalui Do’a Saudara Mukmin:
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah swt. dalam al-Qur’an adalah, do’a saudara mukmin. Dalam al-Qur’an, Allah swt... berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman’; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’ ” (QS al-Hasyr: 10). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang belakangan telah mendo’akan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa do’a untuk orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah do’a kepada yang telah wafat –walau bukan anak serta famili (kerabat)– akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.

Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Sholeh:
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya. Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui do’a Rasul maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar menjadi sarana pengkabulan do’a, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah swt.. Sebagai contoh apa yang di lakukan nabi Ya’kub as. dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah swt.. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui do’a Nabi, dengan tawassul melalui diri Nabi.
Jadi, disini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah swt. melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul di sisi Allah swt.. Ini merupakan bentuk inayah khasshah (anugerah khusus) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah swt. itu diletakkan kepada pribadi para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah swt..

Hal itu sebagaimana Allah swt. telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah swt.. berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh pengikut sejati Rasulallah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah swt.. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah swt.. berfirman: “(yaitu) Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan meng- haramkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).

Jika kunci terkabulnya do’a terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap manusia Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagaimana do’a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah swt..

Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan do’a manusia sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan (jah/ maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia sholeh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan do’a’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia sholeh’ terdapat relasi/hubungan erat dan menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt. disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt.. Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadits yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadits dari Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat tig orang yang tertutup didalam goa. Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138 hadits ke-16789; Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385; Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadits ke-3578 dan kitab lainnya.

Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh:
Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw.. Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh, dimana diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah swt...

Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana apa yang di kemukakan oleh Rasulallah saw. kepada Muadz bin Jabal ra ini, Rasulallah bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Kemudian Rasulallah bersabda: ‘Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun’. Agak beberapa lama, kembali Rasulallah bersabda: ‘Wahai Muadz !’ aku (Muadz) menjawab: ‘Ya wahai Rasulallah !?’. Rasulallah bertanya: ‘Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?’. aku (Muadz) menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Rasulallah bersabda: ‘“Ia tiada akan mengadzabnya’ “. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).

Hadits diatas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah swt... Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah swt.– maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur’an sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia.

Allah swt.. berfirman: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122). Atau sebagaimana dalam firman Allah swt... lainya; “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28).

Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.

Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Ya’qub)– telah melakukan tawassul. Dan al-Qur’an pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan do’a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan do’a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki kajian selanjutnya.