Tuesday, August 3, 2010

Dalil Tawassul dan Tabarruk

Mari kita rujuk dalil-dalil khusus yang berkaitan dengan Tawassul dan Tabarruk, dengan demikian insya Allah para pembaca lebih jelas dan mantep mengenai dibolehkannya tawassul/tabarruk ini. Sementara ada orang memandang wasithah/tawassul dan tabarruk hal yang dilarang dan di kategorikan sebagai syirik. Kebanyakan mereka yang melarang minta pertolongan kepada makhluk itu atau bertawassul berdalil kepada firman Allah dan hadits Rasulallah saw. (kita bicarakan tersendiri) yang menurut faham mereka sebagai larangan bertawassul atau bertabarruk.

Dengan pengertian seperti itu mereka melarang semua macam permintaan yang ditujukan pada selain Allah swt. Padahal yang dimaksud oleh firman Allah swt. dan hadits-hadits tersebut bukan seperti yang mereka tafsirkan. Rasulallah saw. mengingatkan kita agar jangan lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Jadi bila hendak minta tolong pada manusia, anda harus tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Jangan sekali-kali anda lupa kepada ‘Sebab Pertama’ yang berkenan menolong anda serta yang mengatur semua hubungan dalam kehidup an ini adalah Allah swt.

Jika Islam melarang seorang muslim minta tolong kepada sesamanya, atau minta tolong pada Rasulallah saw., tentu beliau saw. melarang kaum muslimin minta tolong kepadanya, dan beliau tidak akan pernah mau dimintai tolong supaya berdo’a, agar Allah swt. menurunkan hujan di musim kemarau dan berdo’a untuk lainnya. Terbukti bahwa beliau tidak pernah menolak permintaan mereka ini. Hadits-hadits yang golongan pengingkar buat sebagai dalil tersebut, tidak bermakna kecuali memantapkan akidah/keyakinan kaum muslimin, yaitu akidah tauhid, bahwa penolong yang sebenarnya adalah Allah swt., sedangkan manusia adalah hanyalah sebagai washithah/perantara.

Kalau permintaan tolong pada selain Allah swt. dilarang, maka akan bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang membolehkan tawassul dan minta tolong dengan sesama manusia. Jadi minta pertolongan pada makhluk atau tawassul tersebut mustahab/boleh selama orang tersebut tidak mempunyai keyakinan/akidah bahwa Nabi, para waliyullah dan sebagainya tersebut dapat memberi syafa’at tanpa seizin Allah swt. Kaum muslimin juga yakin bahwa orang yang mohon syafa’at ini adalah sebagai upaya/iktisab sedangkan yang dimintai syafa’at adalah ‘wasithah’ tidak lebih dari itu.

Hakekat ‘Tawassul’ merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada Allah swt.

Yang menjadi pertanyaan adalah; Adakah sarana-sarana lain yang sah menurut syariat Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah swt. ataukah dalam penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserah kan kepada manusia? Untuk menjawab secara ringkas maka dapat kita katakan bahwa: Jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah swt. tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah saw. saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah swt.

Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat baik dengan dalil umum maupun khusus maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas ‘Tawassul/Istighatsah’ sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw. maupun prilaku para Salaf Sholeh dan Ulama Salaf Ahlusunnah wal Jama’ah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah sesat, seperti yang dapat sebagian amalan yang kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/ Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami tekts. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang di inginkan oleh Islam.

Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washilah’ (penyampai/ penghubung). Sehingga sewaktu di katakan bahwa ‘wasala fulan ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan yang dapat men- dekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la).

Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian menjadi ‘istigha- tsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.

Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang disahkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam penentu an obyek maka terjadi perbedaan juga dalam menghukuminya. Dari perbeda an hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari kelompok yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak mau menerima pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah sesat atau syirik. Di sini, kita akan mengklasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian:

Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kitab “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahabi .red) mengatakan kepadamu; ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati’ (QS Yunus: 62), atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki kedudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatil annya (seperti Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. red) sedang kalian tidak memahaminya (tidak bisa menjawabnya) maka katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih) ‘ ”. (Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60).

Disini jelas sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya syafa’at, kedudukan tinggi para nabi disisi Allah swt. sehingga dimintai istighatsah/ tawassul…dst.nya. Bahkan disini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya ‘cara melarikan diri’ dari diskusi tentang doktrin an sektenya dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabbuh (yang samar) dan muhkam (yang jelas) ayat-ayat al-Qur’an. Termasuk cara mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme untuk bertobat tanpa terbukti kesalahannya. Ternyata, akhirnya cara-cara licik ini pun yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahabi ketika terdesak dalam berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi kebiasaan buruk mayoritas para pengikut sekte tersebut.

Contoh lain: Nashiruddin al-Albani yang konon adalah seorang ahli hadits dari kalangan Wahabi pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah) dia menyatakan bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong masalah akidah”.

Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti Wahabi: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta syafa’at darinya maka ia telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).

Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jama’ah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas Tawassul/Istighatsah dan Tabarruk ini. Insya Allah dalam situs ini kita jelaskan mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Kita akan memberikan contoh beberapa tokoh dari mereka saja:

 Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan do’aku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)

As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta pertolongan berkait an suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasulallah saw. memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafa’atnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan do’anya, walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang meminta; ‘aku memohon kepadamu (wahai Rasulallah .red) untuk dapat menemanimu di sorga…’, tiada yang dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw. menjadi sebab dan pemberi syafa’at” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374)

As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan mengatakan: “Dan bertawassul kepada Allah swt. melalui para nabi dan manusia sholeh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)
Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab Hanbali pernah menyatakan: “Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Ja’far (keturunan Rasulullah saw. yang kelima pen.) dan aku bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).

Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati bahwa terkadang ia mengingkarinya, terkadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi Tawassul menjadi tiga kategori:

Petama: Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muassal Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur) terhadap hal yang umum dan yang khusus.

Kedua: Tawassul dengan do’a dan syafa’at Nabi dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat memberi syafa’at dan mendengar do’a semasa hidupnya dan sehingga di akhirat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafa’atnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya. Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.

Sedangkan yang ketiga ialah: Tawassul untuk mendapat syafa’atnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50).
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyah pun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas/kebolehan tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya. Dari penjelasan di atas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah demikian? Kita akan buktikan nanti bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu telah terbantah dengan dalil-dalil dalam ajaran Islam itu sendiri.

Yang perlu djelaskan dari ungkapan di atas berkaitan dengan pendapat kedua yaitu Islam secara keseluruhan melegalkan konsep dan praktek Tawassul/ Istighatsah kepada Nabi saw. dan orang-orang sholeh. Jadi dalam masalah ini terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, Tabarruk juga masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahabi ternyata kelompok Salafi (baca:Wahabi) sendirian, selain karena mereka juga tidak memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Qur’an, sunnah Rasulallah maupun perilaku Salaf Sholeh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; ‘Dalam masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam’.

Dalam arti garis besar makna Tawassul/Wasithah ialah perantara, misalnya kita berdo’a pada Allah swt. dengan menyertakan nama Muhammad Rasul Allah saw. atau nama pribadi seseorang ahli taqwa dalam do’a kita tersebut atau berdo’a pada Allah swt. dengan menyebut-nyebut amal kebaikan yang telah kita jalankan. Dengan demikian lebih besar harapan do’a kita akan di kabulkan oleh Allah swt. Ingat, bahwa kita dalam tawassul ini berdo’a pada Allah swt. jadi bukan berdo’a pada makhluk untuk menyekutukan Allah swt.!

Juga termasuk makna wasithah/tawassul ialah minta pertolongan pada makhluk, tidak langsung kepada Allah swt., begitupun juga minta syafa’at kepada Nabi saw., para sahabat atau kepada para waliyullah/ahli taqwa yang masih hidup atau telah wafat.

No comments:

Post a Comment